Jantung kami serasa berdegup dua kali lebih gencar, lalu tersayat oleh
sembilu bambu deritamu, darah kami memancar ke atas lalu meneteskan guratan
kaligrafi bunyinya Allahu Akbar, dan bebaskan Palestina. Ketika pabrik tak
bernama memproduksi dusta seribu ton sepekan banyaknya, menebarkan ke media
cetak dan elektronika, mengoyaki tenda-tenda pengungsi di padang pasir
belantara membangkangi resolusi resolusi majelis terhormat di dunia, Palestina
bagaimana bisa aku melupaknmu.
Tanahku jauh bila diukur kilometer beribu-ribu, tapi adzan Masjidil Aqsa
yang merdu serasa terngiang di telingaku. Ketika rumah-rumahmu diruntuhkan
buldozer dengan suara gemuruh menderu, serasa pasir dan batu bata dinding kamar
tidurku bertebaran di pekaranganku, meneteskan peluh merah dan mengepulkan debu
berdarah.
Derita Terekam Sejarah
Demikian kutipan puisi dari sastrawan ideologis Indonesia, Taufik Ismail
yang menggambarkan resahnya jiwa kemanusiaan menyaksikan penjajah pongah
mengangkangi bumi tempat berdirinya kiblat pertama umat Islam. Al Aqsa,
Palestina.
Derita terekam sejarah. Air mata, darah dan nyawa menjadi prasasti dan saksi
pada Rabbi akan keteguhan menjaga karunia-Nya di bumi jihad. Jalan Palestina
tidak semulus Indonesia ketika pada tahun 1945 merdeka atas bantuan sekutu yang
belakangan kita ketahui membawa misi penjajahan baru setelah Indonesia merdeka
dari penjajah lama. Menancapkan kapitalisme yang masih menggerogoti negara
hingga kini.
Palestina, karena melawan anak emas sang adi kuasa (yang sedang sempoyongan)
negara Zionis Yahudi, harus berjuang sendiri ditengah berbagai sanksi blokade.
Tapi jiwa perlawanan yang telah berkobar seolah tak pernah padam. Ruh jihad
menjadi energi ketika mereka harus berpuasa hari demi hari karena terbatasnya
logistik. Batu pun harus menghadapi tank-tank super canggih.
Sekali lagi, ini demi harga diri. Pantang bertekuk dihadapan penjajah.
Apalagi menjilati boot-boot yang membungkus kaki angkuh generasi yang pernah
dikutuk menjadi kera.
Anak-anak Palestina hidup, tumbuh dan memahami kehidupan dengan irama
perlamawanan. Genarasi baja yang pentang menyerah hanya karena senapan
penjajah.
Derita perang tahun 1948, tahun 1967, hingga yang paling akhir ketika Zionis
Israel menyerang Gaza pada Desember 2008 - Januari 2009, tak membuat bangsa
Palestina patah arang. Apalagi menyerah. Palestine will not go down, begitu
Michael Heart mengobarkan lantunan kemanusiaan yang menggema ke penjuru dunia
dan menggelorakan semangat jihad untuk Palestina merdeka.
Babak Baru
Kini, Palestina memasuki babak baru perjuangannya. Palestina secara resmi
telah mengajukan permohonan bersejarah kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
agar menjadikan negara Palestina sebagai anggota resmi lembaga
itu. Proposal tersebut disampaikan langsung oleh Presiden Palestina Mahmud
Abbas Jum’at (23/9) di depan sidang Majelis Umum PBB. Permohonan
keanggotaan penuh di PBB, jika dterima berarti bahwa Palestina memiliki hak
sebagaimana negara lain yang merdeka.
Upaya ini datang di tengah penolakan Israel dan Amerika Serikat (AS). AS,
melalui Presiden Barack Husein Obama bahkan telah berjanji akan memveto
proposal Palestina merdeka tersebut. Hal itu merupakan ancaman serius. Jikapun
proposal tersebut disetujui oleh Sekjen PBB Ban Ki-moon, maka Dewan Keamanan
(DK) PBB akan mengkaji dan kemudian melakukan pemungutan suara untuk mencapai
keputusan.
Berdasarkan resolusi DK PBB, untuk mendapat persetujuan dibutuhkan 9 dari 15
anggota dewan, dengan syarat tidak ada veto dari anggota tetap DK PBB. Kita
ketahui bahwa anggota tetap DK PBB adalah AS, Cina, Perancis, Rusia, dan
Britania Raya. Sedangkan sepuluh anggota tidak tetap DK PBB adalah, Bosnia
Herzegovina, Brazil, Kolombia, Gabon, Jepang, Jerman, India, Lebanon, Nigeria,
Portugal dan Afrika.
Hingga saat ini, sekitar 124 negara dari 193 negara anggota PBB secara resmi
mendeklarasikan pengakuan mereka terhadap negara Palestina serta menyatakan
mendukung langkah Palestina untuk mendapatkan pengakuan sebagai negara merdeka
dan menjadi anggota penuh PBB (KNRP, 28/08/2011).
Enam anggota DK telah memberikan dukungan mereka kepada Palestina, yakni
China, Brasil, India, Lebanon, Rusia, dan Afrika Selatan. Anggota lain
yang belum mengungkapkan dukungan mereka mencakup Bosnia Herzegovina, Inggris,
Perancis, Jerman, Gabon, Nigeria, dan Portugal. Kolombia telah mengatakan bahwa
mereka akan abstain. Namun melihat kecendrungan politik domestik di beberapa
negara yang belum mengambil keputusan, mayoritas masyarakat mereka mendukung
Palsetina Merdeka.
Hasil survei yang dilakukan oleh YouGov atas nama Avaaz, sebuah organisasi
kampanye global, menunjukkan bahwa 59 persen rakyat Inggris, 69 persen rakyat
Prancis, dan 71 persen rakyat Jerman menginginkan agar pemerintah mereka
mendukung pengesahan proposal pembentukan negara merdeka Palestina di Majelis
Umum PBB. Dalam jajak pendapat itu, dukungan atas hak Palestina untuk memiliki
negara sendiri tanpa mengacu pada suara di PBB bahkan lebih tinggi, yakni 71
persen di Inggris, 82 persen di Prancis, dan 86 persen di Jerman (Republika,
13/9/2011).
Saat ini permasalahan krusial soal kemerdekaan palestina ada pada ancaman AS
untuk memveto. Namun, dari kenyataan politik AS saat ini sebenarnya Obama juga
sedang dilematis. Antara menuruti tekanan lobi politik Zionis Israel atau
tekanan dari lawan politiknya serta dari negara-negara di dunia, khususnya
negara-negara yang selama ini memiliki kemitraan dengan AS. Sepeti Arab Saudi,
Turki, dan Mesir. Tiga negara ini telah secara terbuka menyatakan mendukung,
bahkan secara proaktif untuk kemerdekaan Palestina.
Perubahan peta politik di Timur Tengah pasca revolusi enam bulan terakhir,
semakin memojokkan posisi AS dan Israel. Dimana pengaruh kedua negara ini
semakin melemah. Perubahan secara signifikan setelah anak emas AS di Mesir,
Housni Mubarak digulingkan oleh gerakan revolusi. Selama ini Mesir turut
berkontribusi atas berbagai krisis di Palestina. Utamanya akses ke negara
tersebut yang diperketat atas tekanan Zionis Israel. Namun kini Mesir berubah
seiring tumbangnya sang diktator. Pemerintah baru, atas desakan masyarakat
secara penuh mendukung kemerdekaan Palestina.
Sementara itu di dalam negeri, Obama dirongrong kubu oposisi, Partai
Republik. Gubernur Texas Rick Perry mengatakan: ''Kebijakan Obama terkait
persamaan moral, dengan kesetaraan bagi Israel dan Palestina, termasuk pelaku
orkestra terorisme, ini adalah penghinaan berbahaya.'' (tribunnews.com
1/9/2011). Serangan oposisi tersebut tentu memperburuk posisi Obama di tengah
berbagai problem dalam negeri AS. Seperti krisis ekonomi dan pengangguran.
Partai Republik menguasai mayoritas parlemen AS.
Tarik menarik kepentingan politik saat pembahasan anggaran, khususnya
pemotongan anggaran utang beberapa waktu lalu menjadi gambaran kuatnya tekanan
politik yang dialami Obama yang berimplikasi pada popularitasnya di mata para
voters. Para pemimpin Partai Republik antara lain bertekad untuk memotong
anggaran sebesar US$100 miliar, mencabut kebijakan yang menutup lapangan kerja,
dan mengkaji ulang peraturan perpajakan, maupun memotong dana diplomatik dan
bantuan luar negeri.
Akhirnya Obama kelihatan tak mampu mengatasi problem ekonomi, pengangguran
yang membuat kehidupan rakyat AS terancam.
Jika saja Obama mau jujur dan tidak menjilat kembali ludahnya, tentu dia
akan melaksanakan apa yang pernah dipidatokan di Mesir pada Juni 2009 yang lalu
tentang dukungannya terhadap Palestina merdeka. Bahkan pidato itu secara
mengejutkan kembali diulangi pada forum Majelis Umum PBB tahun 2010 PBB
“ 'saat kita kembali di tahun depan, kita dapat menyepakati masuknya
anggota baru PBB, yaitu Palestina Merdeka' kata Obama.
Berbaliknya Obama tidak mendukung kemerdekaan Palestina, menjadi tanda tanya
besar. Apa yang terjadi di dalam politik AS? Apakah lobi-lobi Yahudi berhasil
menjanjikan sesuatu untuk melanggengkan kekuasan Obama menghadapi Pemilu
Presiden pada 2012 nanti? Makin nampak jika Obama memang dilema.
Realits ini juga menguak betapa kuatnya pengaruh Zionis Israel di AS.
Presiden AS yang katanya adi daya itu, pun harus tunduk. AS menjadi
perpanjangan tangan Zionis Yahudi untuk melanggengkan segala kepentingannya.
Namun kita tetap harus yakin, bahwa masa penjajahan itu akan berakhir dengan
izin Allah SWT. Apakah dengan semakin terpuruknya ekonomi AS dan
sekutu-sekutunya yang diikuti oleh keterpurukan kepercayaan dan pengaruh pada
dunia internasional, atau dengan adanya pemimpin dari dunia Islam yang secara
berani konfrontasi militer dengan Zionis Israel. Semua akan terjadi pada saat
terindah nanti.
Dan ada benarnya apa yang dikatakan oleh mantan Direktur Jenderal
Kementerian Luar Negeri Israel Alon Liel, ketika berdemonstrasi mendukung
proposal Palestina Merdeka “Kalian memang diserang Obama, tetapi dia tidak lagi
menguasai dunia, masih ada dukungan dari komunitas internasional. Lupakan Dewan
Keamanan PBB, langsung ke Majelis Umum dan raih dukungan 150 negara (anggota
PBB),". Wallahu’alam